6 Mei 2014




Tittle                : Silent Love
Author             : RFP4
Cast                 : Faris (random),Ayana (JKT48)
Other cast        : Just read until end
Genre              : Romance




“Ayana?” gumam Faris saat melihat wajah wanita yang berjalan mendekat. Faris segera berdiri dan berjalan mengejar Ayana yang sudah berjalan melewatinya.
Faris menarik tangan Ayana membuat Ayana terpaksa berhenti dan rasa penasaran pun tumbuh didalam pikirannya, siapa yang menarik tangannya? Ayana segera mengusap wajahnya dengan satu tangannya dan menoleh kebelakang, dan betapa terkejutnya Ayana saat melihat Faris lah yang menarik tangannya. Ayana menunduk lesu, dia mengira bahwa yang menarik tangannya adalah ibu tirinya, padahal dia berharap ibunya mengejarnya dan menyuruhnya kembali kerumah setelah berjalan sejauh ini ternyata apa yang diinginkannya tak tercapai dan tak dikabulkan tuhan.
“kamu ngapain malem–malem keluyuran? Udah gapake sandal ato sepatu lagi?” kata Faris sambil memperhatikan Ayana dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ayana pun mengangkat kepalanya dan menatap Faris, tatapannya seakan mengatakan ‘bukan urusanmu.’
Faris mengerti maksud Ayana menatapnya seperti itu, dia segera mengalihkan pembicaraan dan membawa Ayana ke tempatnya, warung kecil yang tadi menjadi tempat singgahnya bersama Raka untuk minum teh dan bercakap–cakap.
Ayana mengikutinya dan duduk disamping Faris, Raka memandang gadis itu setengah sadar.
“gila ini cewek cantik amat?” batin Raka saat Ayana duduk disamping Faris.
“kamu gapapakan disini bentar?” tanya Faris pada Ayana untuk meyakinkan bahwa Ayana tak keberatan jika hanya diwarung pinggir jalan yang jauh dari kesan mewah restoran bintang 5.
Ayana tersenyum dan menganggukan kepalanya.
“mau apa?” tanya Faris lagi
Ayana hanya menatap semua itu dan menggelengkan kepala, perutnya terasa kenyang mengingat ia baru saja makan malam bersama ibunya.
“yakin? Mau minum?” tanya Faris lagi yang masih ingin agar Ayana memesan sesuatu.
Ayana mencoba untuk memesan sesuatu,dan ia tau apa yang harus ia pesan. Ayana segera menunjuk ke gelas didepan Faris, teh hangat. Ya. Dia menginginkan teh atau minuman untuknya, dia sangat haus karena belum minum sama sekali setelah menggebrak meja.
“mau teh?” tanya Faris lagi
Ayana tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“mas! Pesen teh anget nya satu lagi ya!” seru Faris kepada si pemilik warung.
Raka yang sedari tadi melihat Faris dan Ayana pun ingin mengikuti pembicaraan mereka, namun apa daya, dia tak mengenal Ayana dan Raka pun sedikit bingung, siapa Ayana ini? Karena dari dulu Faris selalu menceritakan orang–orang yang dekat dengannya, dan Raka segera berfikir positif bahwa Ayana adalah saudara Faris.
Raka pun menyenggol lengan Faris karena sedari tadi dia tak dianggap ada oleh Faris, Faris pun menoleh ke Raka, dan bertanya mengapa ia menyenggolnya
“knapa?” tanya Faris saat melihat Raka sedang meminum kopinya
“itu siapa?” tanya Raka setengah berbisik.
“oh.. eh iya Ay, kenalin ini Raka temenku.. Rak kenalin ini Ayana.” Kata Faris sambil mengenalkan Ayana pada Raka.
Ayana mengulurkan tangannya pada Raka dan Raka segera menjabat uluran tangan Ayana.
“Raka.” Ucap Raka sambil tersenyum dan dibalas senyuman dengan Ayana.
“oh iya Ay, kok kamu–“ Faris ingin bertanya sesuatu pada Ayana, namun ia ingat Ayana tak bisa berbicara dan hanya bisa berbicara dengannya menggunakan alat tulis, dan ia pun tak jadi menanyakan hal itu pada Ayana karna tak ada alat tulis yang menjadi penghubung mereka. “em gajadi deh” dan  akhirnya teh hangat yang dipesan Ayana pun datang, dan itu menjadi kesempatan bagi Faris untuk mengalihkan pembicaraan “nih teh nya, aus pasti kamu.”

Waktu berlalu cepat, malam semakin larut, jam tangan Faris menunjukkan pukul 21.30 dan Faris memutuskan untuk pulang, namun ia bingung dengan Ayana.. ia bingung harus membawa Ayana kemana.. Raka sudah pulang terlebih dahulu, seandainya masih ada Raka, ia pasti sudah menitipkan Ayana pada Raka, jika Ayana mau.
Faris berjalan beriringan menuju tempat dimana motor Faris diparkir dengan Ayana yang berjalan tanpa alas kaki.
“kamu mau kemana? Mau aku anter pulang?” tanya Faris saat sudah sampai di tempat parkir dan mengambil helm nya.
Ayana pun dengan secepat kilat menggelengkan kepalanya, dan itu membuat Faris melepas kembali helm yang sudah dipakainya karena kaget.
“HAH?! Kok gamau?!” suara Faris memang terdengar sangat kaget.
Ayana meletakkan tangannya dipinggang, mencoba mencari–cari sesuatu, diambilnya sebuah ranting dan digoreskannya ranting itu ditanah
‘aku benci mamaku, aku gamau dirumah’ tulisan yang sedikit rapi dan dapat dibaca oleh Faris, mungkin karena tanah ini basah terkena guyuran hujan yang baru saja reda.
“baru berantem sama orang tua?”
Ayana menganggukkan kepalanya.
“terus, kamu mau kemana? Ini udah malem.. udahlah pulang aja kerumah kamu, aku anter lah..”
Ayana tetap bersikeras menggelengkan kepalanya pertanda ia tak mau mengikuti perintah Faris untuk pulang kerumahnya.
“terus kamu ini mau kemana?!” suara Faris terdengar lelah
Ayana menulis kembali ditanah menggunakan ranting yang ia temukan
‘sama kamu’
“hah? Kamu? Mau? Kerumahku?” setiap kata diucapkan terpisah dan seperti bernada bertanya
Ayana menganggukkan kepalanya pertanda benar.
Faris menghela nafas dan memakai kembali helmnya

...

Rumah Faris masih terlihat terang dan terdengar suara riuh di ruang TV, Ayana melihat isi rumah Faris dan mendengar betapa ramainya rumah Faris.
“maaf, rame ya? Ini kayaknya lagi pada nonton bola, soalnya satu keluargaku suka bola semua, hehe” ucap Faris tak enak hati pada Ayana, dan Ayana membalasnya dengan senyuman.

Faris masuk dan berkata pada keluarganya
“ma! Ada tamu!”
Seakan kaget, ibu Faris segera menoleh kebelakang dan melihat ada seorang gadis dibelakang Faris, Ayana.
“wah? Siapa? Pacar kamu? Cantik banget?” ucap ibu Faris saat melihat Ayana yang tersenyum ramah kepada semua yang ada di ruang TV itu, Ayah, Ibu, Henry,Esa, dan Putra.
“wih pacar lo Ris? Lo bisa punya pacar? Wih first love ciye!!” Putra.
“gue kira kagak ada yang mau sama lo” Henry
“cakep” Esa lirih dan mungkin hanya bisa didengar oleh ayahnya yang berada disampingnya.
Faris hanya melotot dan pada semuanya, dan segera berkata “dia Ayana, temen gue. Oiya sebelumnya Ayana ini pita suaranya rusak jadi dia gabisa bicara, tapi dia bisa dengerin apa yang kita omonging termasuk omongan lo lo lo pada TADI!” ucap Faris diperjelas saat kata ‘TADI’
“wah temen kamu cantik, mau nginep disini?” tanya ibu Faris
Faris menoleh kesamping untuk melihat Ayana, Ayana hanya menatap wajah ibunya dan menganggukkan kepala tanda ia setuju menginap dirumah Faris.
“sini ikut tante , tante anter ke kamar tamu” ucap sang ibu sambil beranjak menghampiri Ayana.

...

“Never mindI'll find someone like you
I wish nothing but the best for you too
" Don't forget me," I begged"I'll remember," you said"
Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts instead."

Suara Faris membuat pagi ini tampak tak indah, suaranya mengalamin masalah dan sepertinya ia terserang batuk.
Balcon ini memang tempat semua keluarga, sehingga tak hanya Faris saja yang dapat berada disini, namun semuanya termasuk Ayana, Ayana yang sedari tadi mendengarkan lagu yang dinyanyikan Faris.
Ayana menepuk pundak Faris dan memberikan sebuah buku kecil
‘suara kamu bagus, kenapa gak jadi penyanyi aja?’
Tulisan itu membuat Faris tertawa kecil. “jadi penyanyi? Suara aku itu jelek, ini aja kayaknya batuk nih..” kata Faris dan disertai sebuah batuk kecil saat ia selesai berkata
‘buruan diobatin ya!! Tenggorokan itu kasian kalo sakit! Nanti kayak aku loh!! Kamu gamau kan kehilangan suara kayak aku?’
Kalimat yang mengejutkan untuk Faris “ini kan cuman batuk biasa, aku gamau terlalu banyak bahan kimia didalam tubuhku, kalo penyakit ringan dibiarin aja, ntar juga sembuh sendiri.”
Ayana segera berlari meninggalkan Faris, Faris menatapnya bingung. Faris tak sengaja melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 6.30 .
Pikirannya menangkap sesuatu yang tidak beres.
“Ayana kan harus sekolah?” batin Faris dan segera menaruh gitarnya disamping kursi dan pergi mencari Ayana.

Faris berjalan menuju dapur, tak ada. Ruang tamu, tak ada. Kamar tamu, itu dia.
“kamu ngapain? Kamu kan harus sekolah?” tanya Faris saat memasuki kamar tamu dan melihat Ayana mengetik sesuatu di ponselnya.
Ayana segera berlari kearah Faris dan memberikan ponselnya.
Faris selalu bingung dengan hal–hal spontan yang dilakukan Ayana, namun dia tau setelah Ayana memberinya senyuman atau anggukan gelengan. Dan kali ini Ayana tersenyum, Faris segera memandang layar ponsel Ayana.
“kamu mau aku ngasih nomer aku ke kamu?” tanya Faris meyakinkan tebakannya
Ayana pun mengangguk mantap, akhirnya Faris pun memberikan nomer nya kepada Ayana. Ayana mungkin akan membutuhkan Faris suatu saat, mungkin hanya Faris yang mengerti tentangnya.

[Ayana pov]

Aku belum pernah dihargai seperti ini, keluarga Faris sangat menghargaiku, mereka tidak memandangku sebagai orang cacat, setidaknya seperti itu. Dan kuharap seperti itu.
Orang tua Faris juga sangat baik terhadapku, walau tante–- eh mama punya 4 anak laki-laki tapi ternyata dia punya beberapa baju anak gadis perempuan yang sangat lucu, dan aku yakin dia pasti tidak memakai ini, terlihat dari gaya berpakaian mama dengan baju yang diberikan kepadaku ini.
Aku memanggilnya mama karena dia yang menyuruhku, dia tak suka dipanggil tante, dia ingin dipanggil mama, dan aku hanya menurut saja, lagipula dia juga sangat baik, aku nyaman disini. Jauh lebih nyaman daripada harus tinggal dirumahku sendiri.
Apa mama mencariku? Apa dia mencariku ke sekolah? Ah masa bodoh! Aku tak peduli! Aku benci sekolah itu! Lebih baik aku masuk ke sekolah kusus orang–orang cacat daripada setiap hari aku mendapat cacian dari teman–teman dana guru–guru yang seharusnya memberi teladan bagi murid untuk menghargaiku, bukannya membully ku.
Aku meminta nomor Faris, aku merasa dia lebih mengertiku, dia sepertinya orang baik. Bukan sepertinya lagi. Bahkan mungkin dia orang paling baik di dunia ini yang berkata kepadaku bahwa aku ini bukan bisu, tapi aku ini tidak bisa bicara. Ya. Tidak bisa bicara.
Aku salah ya memanggil dia Faris? Iya memang salah! Seharusnya aku memanggilnya kak Faris. Sepertinya dia lebih tua dariku, dia saja sudah tidak bersekolah, pasti dia sudah lulus dan sudah kuliah, atau bahkan sudah bekerja? Entahlah. Aku tak tau.
Aku nyaman disini.

[back to Author pov]
Faris duduk di meja makannya, suasana sepi.. orang tuanya pergi ke Bandung, Henry sudah berangkat kuliah, Esa sudah berangkat kerja, begitupun Putra. Kuliah masih lama, masih 4 jam lagi. Ia segera berdecak mengingat harus bertemu dengan Rizal dan lainnya, alasan utama adalah dia tak ingin bertemu mereka. Dia tak ingin bertemu mereka. Yang ada difikiran mereka pasti mengatainya karena belum mempunyai pasangan, dan ketegasannya adalah dia tak akan masuk kuliah untuk hari ini.
Tangan Ayana menepuk pundah Faris membuat Faris tau itu adalah Ayana. Karena dirumah ini hanya tinggal mereka berdua. Ya. Berdua.
Ayana tersenyum memandang piring yang dibawanya, memamerkan nasi goreng yang dibuatnya untuk Faris.
“kamu masak sendiri?” tanya Faris saat melihat piring berisi nasi goreng itu
Ayana mengangguk.
“yaudah buruan dimakan..” kata Faris dan segera mengalihkan pandangannya.
Ayana menggelengkan kepalanya. Faris memandangnya kembali.
“terus mau kamu apain ini?”
Ayana meluruskan tangannya, memberikan piring itu kepada Faris.
Faris mengerutkan dahinya
Ayana menaruh piring itu di depan Faris dan mengambil buku kecil di saku bajunya.
‘ini nasgor buatan aku sendiri loh, dimakan ya.. nanti bilang sama aku enak apa enggaknya’
Ayana menyeerahkan buku kecil itu kepada Faris. Faris tersenyum kecil dan memberikan buku itu kembali kepada Ayana.
Dia segera menyendok nasi goreng yang ada didepannya itu.. satu sendok. Wajah Faris terlihat sedang merasakan nasi goreng ini, wajah Faris sungguh membuat Ayana takut jika masakannya ini tak enak.
“sini deh kamu duduk, rasain sendiri nasi goreng kamu” kata Faris sambil menahan tawa.
 Ayana menuruti perintah Faris, rasa takut pun menjalar ke sueluruh tubuhnya, raut wajahnya yyang ketakutan pun tak bisa disembunyikan lagi.. Faris semakin menahan gelak tawa saat melihat wajah Ayana yang ketakutan.
“biar kayak orang pacaran, aku suapin ya hahaha”
Faris memberi satu sendok penuh nasi goreng kepada Ayana. “aaaak” ucapnya sambil memberikan nasi goreng itu kepada Ayana.
Ayana merasakan nasi goreng buatannya, pedas.
Ayana segera berdiri dan berlari ke dapur, mengambil minum untuk dirinya sendiri, dia melupakan segalaanya, dia butuh minum, ini sangat pedas.
Faris yang melihat tingkah Ayana pun tertawa dengan lepasnya, ia sebenarnya tak masalah dengan nasi goreng yang pedas ini, justru karena Faris suka pedas,dia menikmati nasi goreng buatan Ayana ini.
Tiba–tiba sebuahh buku sudah berada disamping tangannya ‘maafin aku, pedes banget ya?’
Faris tersenyum melihat tulisan itu. “enggak pedes sih menurutku, soalnya aku suka pedes.”
Ayana tersenyum malu, dan duduk disamping Faris lagi.

...

Waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi, Faris bosan. Baru kali ini dia berada dirumah dan merasa bosan. Jemarinya sedari tadi hanya memindah–mindah channel TV. Bosan.
Diambil ponselnya di meja yang ada di hadapannya, mencoba mencari–cari aplikasi ponsel yang bisa ia pakai untuk menghilangkan rasa bosannya. Satu, dua game tetap membuatnya merasa bosan. Ia ingin keluar saja dari rumah ini, dan pergi kemanapun yang ia mau dan kemanapun yang bisa membuat suasana hatinya tak bosan.
Sebuah kepala bersandar di bahu kiri Faris, dan membuat Faris menoleh.
Ayana bersandar di bahu Faris, Faris tersenyum kecil saat melihat Ayana bersandar dibahunya. Tangan kanannya terangkat, hati dan fikirannya menyuruhnya untuk membelai rambut Ayana yang halus dan berwarna hitam kecoklatan itu.. Ayana segera mengangkat kepalanya dari bahu Faris membuat Faris kaget dan segera menurunkan tangan kanannya yang tadi ingin membelai rambutnya.
Ayana tersenyum, senyuman yang mengatakan ‘maaf ’
“keluar yuk!” ajak Faris
Ayana menganggukkan kepalanya mantap

...

Faris menyeruput americano miliknya dan menatap layar laptopnya.. Ayana menatapnya bosan. Dia hanya memutar secangkir cappucino nya, wajahnya menggambarkan rasa kebosanan karna hanya duduk melihat Faris berkutat dengan laptopnya. Faris tak sengaja menangkap wajah Ayana yang bosan, dia merasa bersalah membuatnya berwajah bosan. Faris membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan konyolnya “kamu ngapain?”
Ayana tak menjawabnya ––– tidak menulis sesuatu untuk menjawab pertanyaan Faris ––
5 menit kemudian, sudah ada buku kecil didepan layar laptop Faris.
‘aku bosennnnnnnnnnnnn’
Faris segera mengambil pulpen di meja dan menulis kembali untuk Ayana ‘sabar ya, maafin aku cuekin bentar, aku lagi ngerjain skripsi.. bentar ya...’
Ayana menatap tulisan dibuku itu sebal. Dia sangat benci tidak dianggap ada seperti ini, dia benci dihiraukan, diacuhkan. Dia benci.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 tak terasa bagi Faris, membosankan bagi Ayana. Faris menutup layar laptonya yang menghalangi pandangannya dengan Ayana, pandangan Faris tak sengaja menangkap Ayana yang sibuk bermain ponselnya..
Ide konyol muncul di pikirannya, Faris segera mengambil ponselnya dan mencari aplikasi kamera dan mengambil gambar Ayana yang sedang serius bermain ponsel. Faris tersenyum kecil saat melihat gambar yang diambilnya itu... rasanya tak cukup jika hanya mengambil gambarnya, dia segera mencari nomor ponsel Ayana di kontaknya, dia segera mengetik sebuah pesan singkat untuk Ayana.

Ayana sebal saat ia sedang asyik bermain game, lalu ada orang mengirimi dia sebuah pesan singkat. Dipencetnya tombol ‘read’ untuk membaca pesan itu.
‘Fr : Faris

Ayo pulaaaaang’

Ayana segera menurunkan ponselnya yang menghalangi pandangannya dengan Ayana, Faris memandangnya tersenyum. Ayana segera mengangkat kembali ponselnya membuat balasan pesan singkat untuk Faris.

Faris merasakan ponselnya bergetar, ponselnya memang ia silent karena dia benci jika ponselnya berdering saat sedang ada jam kuliah, apalagi saat dosen killer.

‘Fr : Ayana

Buruan aku boseeeeeeeennnnnnnn’

Faris tersenyum dan segera melambaikan tangannya kepada pelayan di kedai kopi itu untuk meminta tagihan. Setelah selesai Faris segera bangkit dari duduknya dan Ayana mengikuti gerakan Faris. Faris berjalan keluar menuju tempat mobilnya diparkir, hari ini ia menggunakan mobil karena sejak tadi pagi awan mendung menyelimuti Jakarta, Faris menggunakan mobil juga karena Ayana, bukan karena Ayana yang meminta, namun dia ingat kejadian saat dia berada berdua bersama Ayana didalam box telefon, Ayana ketakutan akan petir, dan.... itulah alasannya mendung semakin gelap dan Faris yakin, sebentar lagi pasti hujan.. 1 jam lagi dia ke kampus, sekedar meminta acc dosen pembimbing tentang skripsi bab 1 nya, tapi dia yakin pasti akan sangat ramai jika dia datang nanti.

Mereka sudah berada didalam mobil, Ayana tak tau akan dibawa kemana oleh Faris. Suasana hening hingga Faris menghidupkan radio.

Oneulbam naerin hayan nuneun
On sesangeul dwideopgo
I oeroum hangaunde
Na hollo namgyeojyeonne.
Nae ane buneun baram
Geochin pokpungdoego
Jeongmal himdeun mam
Haneureun algetji
.’

Lirik berbahasa Korea yang dihafal dengan sangat oleh Ayana,membuat Ayana hanyut kedalam lagu itu. Faris tak mengerti , bahkan tak menyukai apapun tentang Korea, tangannya segera bergerak untuk mengganti saluran radio itu, namun tangan Ayana mencegahnya. Ayana segera mengeluarkan buku kecil dan menulis, Faris tetap fokus menatap jalanan yang mulai basah diguyur hujan.. memang masih gerimis, tapi cukup untuk membuat kaca depannya basah.

‘aku suka lagu ini, jangan diganti.. aku suka lagu-lagu Korea.. maaf kalo kamu gasuka.. anggep ini permintaan maaf kamu gara–gara nyuekin aku aja ya hehe’
Faris menghela nafas membaca tulisan di buku kecil itu, masih mengumpat dalam hati.. dia sangat benci Korea. Sangat.

...

Faris mencari tempat parkir yang kosong untuk mobilnya, hujan turun semakin deras, sementara waktu untuk menemui dosennya semakin menipis, jam ditangannya menunjukkan pukul 12.00 siang, ditengoknya jok di belakang mobilnya tak ada payung. “sial!” umpat Faris dalam hati.
Dia melihat Ayana, dia tidur.. dia mungkin kelelahan? Oh tidak, dia pasti bosan karena 2 jam berada didalam mobil bersamanya dan mendengarkan lagu–lagu sedih berlirik Korea? Ya. Mungkin itu.
Tak bisa menerobos hujan. Tempat parkirnya terlalu jauh dengan gedung biru ––salah satu gedung jurusannya––
Dia pasrah, kesempatannya bertemu dosennya sudah habis, dosen pembimbingnya pulang pukul 12.00 untuk hari ini, dia tau, karena kemarin dosennya seperti itu, beruntunglah kemarin dia masih bisa berkonsultasi namun gagal meminta acc.
Faris melihat Ayana tertidur, cantik.
“andai lo itu bisa bicara, mungkin lo akan sempurna..” batin Faris, Faris terkekeh sendiri dengan perkataannya dalam hati tadi, yang ada difikirannya adalah menginginkan Ayana menjadi adiknya, dia sangat lucu. Tapi kenapa dia harus mencintai Korea? Sedangkan Faris tidak. Tidak sama sekali.

Satu jam sudah hujan turun.. akhirnya reda.. Faris segera turun dari mobilnya, namun ada sesuatu yang sepertinya ia lupakan. Ia menengok lagi kedalam mobil,
“astaga, gue lupa.” Batin Faris.
“Ay.. bangun Ay...” ucap Faris membangunkan Ayana. Ayana mulai membuka matanya, menatap sekeliling, dia masih berada di dalam mobil, namun ada sesuatu yang beda.. banyak gedung disini...
Ayana menatap Faris bingung.
“ini di kampusku kok..” kata Faris seakan mengerti kenapa Ayana seperti orang kebingungan seperti ini.

Faris dan Ayana berjalan melewati parkiran mobil dan motor, melewati gedung–gedung yang berada di kampusnya, ingin segera sampai gedung biru, tapi apa yang akan dilakukan disana? Tak ada.
Ayana menjajari jalannya Faris... Faris menghentikan langkahnya, menerawang lurus kedepan, Ayana ikut berhenti dan mengikuti arah pandangan Ayana... Ayana melihat beberapa laki–laki dan perempuan berkumpul didepan sebuah gedung, mereka asik membicarakan sesuatu, lalu apa yang membuat Faris berhenti dan memandang mereka seperti ini? Pikiran Ayana terus menebak–nebak sikap Faris ini. Beberapa saat kemudian, Faris tersadar dan menoleh memandang Ayana, Faris segera meraih tangan kiri Ayana dan menggandengnya, Ayana yang kaget hanya mengikuti saja, entah mengapa Ayana senang, hatinya berdesir hebat.. jantungnya berdetak kelewat kencang... Ayana senang.

“woy Ris!” teriak Raka saat Faris dan Ayana berjalan mendekat.
Raka kelewat melongo saat melihat Ayana dan Faris bergandengan, dulu Faris berkata bahwa Ayana adalah temannya, tapi sekarang? Mereka bergandengan layaknya sepasang kekasih? Begitu mesra? Ya begitulah yang Raka lihat.
“wih, siapa nih? Pacar lo Ris?” tanya Rizal melihat Faris datang bersama Ayana.
Faris menoleh ke Ayana, Ayana tak memandangnya, ia malah memandang teman–temannya dan tersenyum ramah.
“iya pacar gue.” Ucap Faris jelas. “kenapa?” tanya Faris setelah melihat teman–temannya berwajah kaget. Dia segera menoleh ke Ayana dan ingin mengethaui ekspresi wajah Ayana, apakah kaget, tak terima, malu, marah? Ternyata biasa saja.
Semua temannya melongo dan kaget dengan pernyataan Faris tadi, terutama Raka.
“mana mungkin?” ucap Raka kaget. “maksud gue, mana mungkin secepet itu? Kan lo sama Ayana baru kenal?” ralat Raka.
Faris hanya tersenyum memandangnya dan mulai membuka mulut untuk menjawabnya “kalo jodoh, apa harus nunggu?”
“GAK LUCU! Paling ini pacar sewaan lo kan? Diem aja daritadi? Gaberani ngomong soal lo? Gaberani ngakuin lo jadi pacarnya? Dia bisu?! Yakali lo pacaran sama orang cacat!” ucap Rizal tak menyangka.
Ayana kaget dengan kata Rizal tadi. Ayana tak keberatan jika Faris mengakuinya sebagai pacarnya, toh hanya didepan teman–temannya, bukan didepan keluarganya. Tapi perkataan Rizal tadi sungguh menyambar hatinya, bak petir yang menyambar–nyambar secara liar saat hujan deras mengguyur dunia dan petir itu menyambar hatinya. Sakit. Dia tak masalah dengan kata pacar sewaan, yang dia tak terima adalah bisu. Dia tidak bisu. Dia hanya tidak bisa bicara! Dia lebih tidak terima di cap sebagai orang cacat! Dia tak terima! Tak terima!

“Ay!!!!” Faris berteriak saat Ayana berlari meninggalkannya, dia menatap benci sejenak kepada Rizal dan segera pergi meninggalkan teman–temannya untuk mengejar Ayana.

*Continue*

 

0 komentar:

Posting Komentar