Tittle : Silent Love
Author : RFP4
Cast : Faris (random),Ayana (JKT48)
Other
cast : Just read until end
Genre : Romance
“Ayana?” gumam Faris saat melihat wajah wanita
yang berjalan mendekat. Faris segera berdiri dan berjalan mengejar Ayana yang
sudah berjalan melewatinya.
Faris
menarik tangan Ayana membuat Ayana terpaksa berhenti dan rasa penasaran pun
tumbuh didalam pikirannya, siapa yang menarik tangannya? Ayana segera mengusap
wajahnya dengan satu tangannya dan menoleh kebelakang, dan betapa terkejutnya
Ayana saat melihat Faris lah yang menarik tangannya. Ayana menunduk lesu, dia
mengira bahwa yang menarik tangannya adalah ibu tirinya, padahal dia berharap
ibunya mengejarnya dan menyuruhnya kembali kerumah setelah berjalan sejauh ini
ternyata apa yang diinginkannya tak tercapai dan tak dikabulkan tuhan.
“kamu
ngapain malem–malem keluyuran? Udah gapake sandal ato sepatu lagi?” kata Faris
sambil memperhatikan Ayana dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ayana pun
mengangkat kepalanya dan menatap Faris, tatapannya seakan mengatakan ‘bukan
urusanmu.’
Faris
mengerti maksud Ayana menatapnya seperti itu, dia segera mengalihkan
pembicaraan dan membawa Ayana ke tempatnya, warung kecil yang tadi menjadi
tempat singgahnya bersama Raka untuk minum teh dan bercakap–cakap.
Ayana
mengikutinya dan duduk disamping Faris, Raka memandang gadis itu setengah
sadar.
“gila
ini cewek cantik amat?” batin Raka saat Ayana duduk disamping Faris.
“kamu
gapapakan disini bentar?” tanya Faris pada Ayana untuk meyakinkan bahwa Ayana
tak keberatan jika hanya diwarung pinggir jalan yang jauh dari kesan mewah
restoran bintang 5.
Ayana
tersenyum dan menganggukan kepalanya.
“mau
apa?” tanya Faris lagi
Ayana
hanya menatap semua itu dan menggelengkan kepala, perutnya terasa kenyang
mengingat ia baru saja makan malam bersama ibunya.
“yakin?
Mau minum?” tanya Faris lagi yang masih ingin agar Ayana memesan sesuatu.
Ayana
mencoba untuk memesan sesuatu,dan ia tau apa yang harus ia pesan. Ayana segera
menunjuk ke gelas didepan Faris, teh hangat. Ya. Dia menginginkan teh atau minuman
untuknya, dia sangat haus karena belum minum sama sekali setelah menggebrak
meja.
“mau
teh?” tanya Faris lagi
Ayana
tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“mas!
Pesen teh anget nya satu lagi ya!” seru Faris kepada si pemilik warung.
Raka
yang sedari tadi melihat Faris dan Ayana pun ingin mengikuti pembicaraan
mereka, namun apa daya, dia tak mengenal Ayana dan Raka pun sedikit bingung,
siapa Ayana ini? Karena dari dulu Faris selalu menceritakan orang–orang yang
dekat dengannya, dan Raka segera berfikir positif bahwa Ayana adalah saudara
Faris.
Raka
pun menyenggol lengan Faris karena sedari tadi dia tak dianggap ada oleh Faris,
Faris pun menoleh ke Raka, dan bertanya mengapa ia menyenggolnya
“knapa?”
tanya Faris saat melihat Raka sedang meminum kopinya
“itu
siapa?” tanya Raka setengah berbisik.
“oh..
eh iya Ay, kenalin ini Raka temenku.. Rak kenalin ini Ayana.” Kata Faris sambil
mengenalkan Ayana pada Raka.
Ayana
mengulurkan tangannya pada Raka dan Raka segera menjabat uluran tangan Ayana.
“Raka.”
Ucap Raka sambil tersenyum dan dibalas senyuman dengan Ayana.
“oh
iya Ay, kok kamu–“ Faris ingin bertanya sesuatu pada Ayana, namun ia ingat
Ayana tak bisa berbicara dan hanya bisa berbicara dengannya menggunakan alat
tulis, dan ia pun tak jadi menanyakan hal itu pada Ayana karna tak ada alat
tulis yang menjadi penghubung mereka. “em gajadi deh” dan akhirnya teh hangat yang dipesan Ayana pun
datang, dan itu menjadi kesempatan bagi Faris untuk mengalihkan pembicaraan
“nih teh nya, aus pasti kamu.”
Waktu
berlalu cepat, malam semakin larut, jam tangan Faris menunjukkan pukul 21.30
dan Faris memutuskan untuk pulang, namun ia bingung dengan Ayana.. ia bingung
harus membawa Ayana kemana.. Raka sudah pulang terlebih dahulu, seandainya
masih ada Raka, ia pasti sudah menitipkan Ayana pada Raka, jika Ayana mau.
Faris
berjalan beriringan menuju tempat dimana motor Faris diparkir dengan Ayana yang
berjalan tanpa alas kaki.
“kamu
mau kemana? Mau aku anter pulang?” tanya Faris saat sudah sampai di tempat
parkir dan mengambil helm nya.
Ayana
pun dengan secepat kilat menggelengkan kepalanya, dan itu membuat Faris melepas
kembali helm yang sudah dipakainya karena kaget.
“HAH?!
Kok gamau?!” suara Faris memang terdengar sangat kaget.
Ayana
meletakkan tangannya dipinggang, mencoba mencari–cari sesuatu, diambilnya
sebuah ranting dan digoreskannya ranting itu ditanah
‘aku
benci mamaku, aku gamau dirumah’ tulisan yang sedikit rapi dan dapat dibaca
oleh Faris, mungkin karena tanah ini basah terkena guyuran hujan yang baru saja
reda.
“baru
berantem sama orang tua?”
Ayana
menganggukkan kepalanya.
“terus,
kamu mau kemana? Ini udah malem.. udahlah pulang aja kerumah kamu, aku anter
lah..”
Ayana
tetap bersikeras menggelengkan kepalanya pertanda ia tak mau mengikuti perintah
Faris untuk pulang kerumahnya.
“terus
kamu ini mau kemana?!” suara Faris terdengar lelah
Ayana
menulis kembali ditanah menggunakan ranting yang ia temukan
‘sama
kamu’
“hah?
Kamu? Mau? Kerumahku?” setiap kata diucapkan terpisah dan seperti bernada
bertanya
Ayana
menganggukkan kepalanya pertanda benar.
Faris
menghela nafas dan memakai kembali helmnya
...
Rumah
Faris masih terlihat terang dan terdengar suara riuh di ruang TV, Ayana melihat
isi rumah Faris dan mendengar betapa ramainya rumah Faris.
“maaf,
rame ya? Ini kayaknya lagi pada nonton bola, soalnya satu keluargaku suka bola
semua, hehe” ucap Faris tak enak hati pada Ayana, dan Ayana membalasnya dengan
senyuman.
Faris
masuk dan berkata pada keluarganya
“ma!
Ada tamu!”
Seakan
kaget, ibu Faris segera menoleh kebelakang dan melihat ada seorang gadis
dibelakang Faris, Ayana.
“wah?
Siapa? Pacar kamu? Cantik banget?” ucap ibu Faris saat melihat Ayana yang
tersenyum ramah kepada semua yang ada di ruang TV itu, Ayah, Ibu, Henry,Esa,
dan Putra.
“wih
pacar lo Ris? Lo bisa punya pacar? Wih first love ciye!!” Putra.
“gue
kira kagak ada yang mau sama lo” Henry
“cakep”
Esa lirih dan mungkin hanya bisa didengar oleh ayahnya yang berada
disampingnya.
Faris
hanya melotot dan pada semuanya, dan segera berkata “dia Ayana, temen gue. Oiya
sebelumnya Ayana ini pita suaranya rusak jadi dia gabisa bicara, tapi dia bisa
dengerin apa yang kita omonging termasuk omongan lo lo lo pada TADI!” ucap
Faris diperjelas saat kata ‘TADI’
“wah
temen kamu cantik, mau nginep disini?” tanya ibu Faris
Faris
menoleh kesamping untuk melihat Ayana, Ayana hanya menatap wajah ibunya dan
menganggukkan kepala tanda ia setuju menginap dirumah Faris.
“sini
ikut tante , tante anter ke kamar tamu” ucap sang ibu sambil beranjak
menghampiri Ayana.
...
“Never mindI'll find someone like
you
I wish nothing but the best for
you too
" Don't forget me," I
begged"I'll remember," you said"
Sometimes it lasts in love
But sometimes it hurts
instead."
Suara
Faris membuat pagi ini tampak tak indah, suaranya mengalamin masalah dan sepertinya
ia terserang batuk.
Balcon
ini memang tempat semua keluarga, sehingga tak hanya Faris saja yang dapat
berada disini, namun semuanya termasuk Ayana, Ayana yang sedari tadi
mendengarkan lagu yang dinyanyikan Faris.
Ayana
menepuk pundak Faris dan memberikan sebuah buku kecil
‘suara
kamu bagus, kenapa gak jadi penyanyi aja?’
Tulisan
itu membuat Faris tertawa kecil. “jadi penyanyi? Suara aku itu jelek, ini aja
kayaknya batuk nih..” kata Faris dan disertai sebuah batuk kecil saat ia
selesai berkata
‘buruan
diobatin ya!! Tenggorokan itu kasian kalo sakit! Nanti kayak aku loh!! Kamu
gamau kan kehilangan suara kayak aku?’
Kalimat
yang mengejutkan untuk Faris “ini kan cuman batuk biasa, aku gamau terlalu
banyak bahan kimia didalam tubuhku, kalo penyakit ringan dibiarin aja, ntar
juga sembuh sendiri.”
Ayana
segera berlari meninggalkan Faris, Faris menatapnya bingung. Faris tak sengaja
melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 6.30 .
Pikirannya
menangkap sesuatu yang tidak beres.
“Ayana
kan harus sekolah?” batin Faris dan segera menaruh gitarnya disamping kursi dan
pergi mencari Ayana.
Faris
berjalan menuju dapur, tak ada. Ruang tamu, tak ada. Kamar tamu, itu dia.
“kamu
ngapain? Kamu kan harus sekolah?” tanya Faris saat memasuki kamar tamu dan
melihat Ayana mengetik sesuatu di ponselnya.
Ayana
segera berlari kearah Faris dan memberikan ponselnya.
Faris
selalu bingung dengan hal–hal spontan yang dilakukan Ayana, namun dia tau
setelah Ayana memberinya senyuman atau anggukan gelengan. Dan kali ini Ayana
tersenyum, Faris segera memandang layar ponsel Ayana.
“kamu
mau aku ngasih nomer aku ke kamu?” tanya Faris meyakinkan tebakannya
Ayana
pun mengangguk mantap, akhirnya Faris pun memberikan nomer nya kepada Ayana.
Ayana mungkin akan membutuhkan Faris suatu saat, mungkin hanya Faris yang
mengerti tentangnya.
[Ayana
pov]
Aku
belum pernah dihargai seperti ini, keluarga Faris sangat menghargaiku, mereka
tidak memandangku sebagai orang cacat, setidaknya seperti itu. Dan kuharap
seperti itu.
Orang
tua Faris juga sangat baik terhadapku, walau tante–- eh mama punya 4 anak
laki-laki tapi ternyata dia punya beberapa baju anak gadis perempuan yang
sangat lucu, dan aku yakin dia pasti tidak memakai ini, terlihat dari gaya
berpakaian mama dengan baju yang diberikan kepadaku ini.
Aku
memanggilnya mama karena dia yang menyuruhku, dia tak suka dipanggil tante, dia
ingin dipanggil mama, dan aku hanya menurut saja, lagipula dia juga sangat
baik, aku nyaman disini. Jauh lebih nyaman daripada harus tinggal dirumahku
sendiri.
Apa
mama mencariku? Apa dia mencariku ke sekolah? Ah masa bodoh! Aku tak peduli!
Aku benci sekolah itu! Lebih baik aku masuk ke sekolah kusus orang–orang cacat
daripada setiap hari aku mendapat cacian dari teman–teman dana guru–guru yang
seharusnya memberi teladan bagi murid untuk menghargaiku, bukannya membully ku.
Aku
meminta nomor Faris, aku merasa dia lebih mengertiku, dia sepertinya orang
baik. Bukan sepertinya lagi. Bahkan mungkin dia orang paling baik di dunia ini
yang berkata kepadaku bahwa aku ini bukan bisu, tapi aku ini tidak bisa bicara.
Ya. Tidak bisa bicara.
Aku
salah ya memanggil dia Faris? Iya memang salah! Seharusnya aku memanggilnya kak
Faris. Sepertinya dia lebih tua dariku, dia saja sudah tidak bersekolah, pasti
dia sudah lulus dan sudah kuliah, atau bahkan sudah bekerja? Entahlah. Aku tak
tau.
Aku
nyaman disini.
[back
to Author pov]
Faris
duduk di meja makannya, suasana sepi.. orang tuanya pergi ke Bandung, Henry
sudah berangkat kuliah, Esa sudah berangkat kerja, begitupun Putra. Kuliah
masih lama, masih 4 jam lagi. Ia segera berdecak mengingat harus bertemu dengan
Rizal dan lainnya, alasan utama adalah dia tak ingin bertemu mereka. Dia tak
ingin bertemu mereka. Yang ada difikiran mereka pasti mengatainya karena belum
mempunyai pasangan, dan ketegasannya adalah dia tak akan masuk kuliah untuk
hari ini.
Tangan
Ayana menepuk pundah Faris membuat Faris tau itu adalah Ayana. Karena dirumah
ini hanya tinggal mereka berdua. Ya. Berdua.
Ayana
tersenyum memandang piring yang dibawanya, memamerkan nasi goreng yang
dibuatnya untuk Faris.
“kamu
masak sendiri?” tanya Faris saat melihat piring berisi nasi goreng itu
Ayana
mengangguk.
“yaudah
buruan dimakan..” kata Faris dan segera mengalihkan pandangannya.
Ayana
menggelengkan kepalanya. Faris memandangnya kembali.
“terus
mau kamu apain ini?”
Ayana
meluruskan tangannya, memberikan piring itu kepada Faris.
Faris
mengerutkan dahinya
Ayana
menaruh piring itu di depan Faris dan mengambil buku kecil di saku bajunya.
‘ini
nasgor buatan aku sendiri loh, dimakan ya.. nanti bilang sama aku enak apa
enggaknya’
Ayana
menyeerahkan buku kecil itu kepada Faris. Faris tersenyum kecil dan memberikan
buku itu kembali kepada Ayana.
Dia
segera menyendok nasi goreng yang ada didepannya itu.. satu sendok. Wajah Faris
terlihat sedang merasakan nasi goreng ini, wajah Faris sungguh membuat Ayana
takut jika masakannya ini tak enak.
“sini
deh kamu duduk, rasain sendiri nasi goreng kamu” kata Faris sambil menahan
tawa.
Ayana menuruti perintah Faris, rasa takut pun
menjalar ke sueluruh tubuhnya, raut wajahnya yyang ketakutan pun tak bisa
disembunyikan lagi.. Faris semakin menahan gelak tawa saat melihat wajah Ayana
yang ketakutan.
“biar
kayak orang pacaran, aku suapin ya hahaha”
Faris
memberi satu sendok penuh nasi goreng kepada Ayana. “aaaak” ucapnya sambil
memberikan nasi goreng itu kepada Ayana.
Ayana
merasakan nasi goreng buatannya, pedas.
Ayana
segera berdiri dan berlari ke dapur, mengambil minum untuk dirinya sendiri, dia
melupakan segalaanya, dia butuh minum, ini sangat pedas.
Faris
yang melihat tingkah Ayana pun tertawa dengan lepasnya, ia sebenarnya tak
masalah dengan nasi goreng yang pedas ini, justru karena Faris suka pedas,dia
menikmati nasi goreng buatan Ayana ini.
Tiba–tiba
sebuahh buku sudah berada disamping tangannya ‘maafin aku, pedes banget ya?’
Faris
tersenyum melihat tulisan itu. “enggak pedes sih menurutku, soalnya aku suka
pedes.”
Ayana
tersenyum malu, dan duduk disamping Faris lagi.
...
Waktu
masih menunjukkan pukul 8 pagi, Faris bosan. Baru kali ini dia berada dirumah
dan merasa bosan. Jemarinya sedari tadi hanya memindah–mindah channel TV.
Bosan.
Diambil
ponselnya di meja yang ada di hadapannya, mencoba mencari–cari aplikasi ponsel
yang bisa ia pakai untuk menghilangkan rasa bosannya. Satu, dua game tetap
membuatnya merasa bosan. Ia ingin keluar saja dari rumah ini, dan pergi
kemanapun yang ia mau dan kemanapun yang bisa membuat suasana hatinya tak
bosan.
Sebuah
kepala bersandar di bahu kiri Faris, dan membuat Faris menoleh.
Ayana
bersandar di bahu Faris, Faris tersenyum kecil saat melihat Ayana bersandar
dibahunya. Tangan kanannya terangkat, hati dan fikirannya menyuruhnya untuk
membelai rambut Ayana yang halus dan berwarna hitam kecoklatan itu.. Ayana
segera mengangkat kepalanya dari bahu Faris membuat Faris kaget dan segera
menurunkan tangan kanannya yang tadi ingin membelai rambutnya.
Ayana
tersenyum, senyuman yang mengatakan ‘maaf ’
“keluar
yuk!” ajak Faris
Ayana
menganggukkan kepalanya mantap
...
Faris
menyeruput americano miliknya dan menatap layar laptopnya.. Ayana menatapnya
bosan. Dia hanya memutar secangkir cappucino nya, wajahnya menggambarkan rasa
kebosanan karna hanya duduk melihat Faris berkutat dengan laptopnya. Faris tak
sengaja menangkap wajah Ayana yang bosan, dia merasa bersalah membuatnya
berwajah bosan. Faris membuka percakapan dengan sebuah pertanyaan konyolnya
“kamu ngapain?”
Ayana
tak menjawabnya ––– tidak menulis sesuatu untuk menjawab pertanyaan Faris ––
5
menit kemudian, sudah ada buku kecil didepan layar laptop Faris.
‘aku
bosennnnnnnnnnnnn’
Faris
segera mengambil pulpen di meja dan menulis kembali untuk Ayana ‘sabar ya,
maafin aku cuekin bentar, aku lagi ngerjain skripsi.. bentar ya...’
Ayana
menatap tulisan dibuku itu sebal. Dia sangat benci tidak dianggap ada seperti
ini, dia benci dihiraukan, diacuhkan. Dia benci.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 11.00 tak terasa bagi Faris, membosankan bagi Ayana.
Faris menutup layar laptonya yang menghalangi pandangannya dengan Ayana,
pandangan Faris tak sengaja menangkap Ayana yang sibuk bermain ponselnya..
Ide
konyol muncul di pikirannya, Faris segera mengambil ponselnya dan mencari
aplikasi kamera dan mengambil gambar Ayana yang sedang serius bermain ponsel.
Faris tersenyum kecil saat melihat gambar yang diambilnya itu... rasanya tak cukup
jika hanya mengambil gambarnya, dia segera mencari nomor ponsel Ayana di
kontaknya, dia segera mengetik sebuah pesan singkat untuk Ayana.
Ayana
sebal saat ia sedang asyik bermain game, lalu ada orang mengirimi dia sebuah
pesan singkat. Dipencetnya tombol ‘read’ untuk membaca pesan itu.
‘Fr
: Faris
Ayo
pulaaaaang’
Ayana
segera menurunkan ponselnya yang menghalangi pandangannya dengan Ayana, Faris
memandangnya tersenyum. Ayana segera mengangkat kembali ponselnya membuat
balasan pesan singkat untuk Faris.
Faris
merasakan ponselnya bergetar, ponselnya memang ia silent karena dia benci jika
ponselnya berdering saat sedang ada jam kuliah, apalagi saat dosen killer.
‘Fr
: Ayana
Buruan
aku boseeeeeeeennnnnnnn’
Faris
tersenyum dan segera melambaikan tangannya kepada pelayan di kedai kopi itu
untuk meminta tagihan. Setelah selesai Faris segera bangkit dari duduknya dan
Ayana mengikuti gerakan Faris. Faris berjalan keluar menuju tempat mobilnya
diparkir, hari ini ia menggunakan mobil karena sejak tadi pagi awan mendung
menyelimuti Jakarta, Faris menggunakan mobil juga karena Ayana, bukan karena
Ayana yang meminta, namun dia ingat kejadian saat dia berada berdua bersama
Ayana didalam box telefon, Ayana ketakutan akan petir, dan.... itulah alasannya
mendung semakin gelap dan Faris yakin, sebentar lagi pasti hujan.. 1 jam lagi
dia ke kampus, sekedar meminta acc dosen pembimbing tentang skripsi bab 1 nya,
tapi dia yakin pasti akan sangat ramai jika dia datang nanti.
Mereka
sudah berada didalam mobil, Ayana tak tau akan dibawa kemana oleh Faris.
Suasana hening hingga Faris menghidupkan radio.
‘Oneulbam naerin hayan nuneun
On sesangeul dwideopgo
I oeroum hangaunde
Na hollo namgyeojyeonne.
Nae ane buneun baram
Geochin pokpungdoego
Jeongmal himdeun mam
Haneureun algetji.’
On sesangeul dwideopgo
I oeroum hangaunde
Na hollo namgyeojyeonne.
Nae ane buneun baram
Geochin pokpungdoego
Jeongmal himdeun mam
Haneureun algetji.’
Lirik berbahasa Korea yang dihafal
dengan sangat oleh Ayana,membuat Ayana hanyut kedalam lagu itu. Faris tak
mengerti , bahkan tak menyukai apapun tentang Korea, tangannya segera bergerak
untuk mengganti saluran radio itu, namun tangan Ayana mencegahnya. Ayana segera
mengeluarkan buku kecil dan menulis, Faris tetap fokus menatap jalanan yang
mulai basah diguyur hujan.. memang masih gerimis, tapi cukup untuk membuat kaca
depannya basah.
‘aku suka lagu ini, jangan diganti..
aku suka lagu-lagu Korea.. maaf kalo kamu gasuka.. anggep ini permintaan maaf
kamu gara–gara nyuekin aku aja ya hehe’
Faris menghela nafas membaca tulisan
di buku kecil itu, masih mengumpat dalam hati.. dia sangat benci Korea. Sangat.
...
Faris mencari tempat parkir yang
kosong untuk mobilnya, hujan turun semakin deras, sementara waktu untuk menemui
dosennya semakin menipis, jam ditangannya menunjukkan pukul 12.00 siang,
ditengoknya jok di belakang mobilnya tak ada payung. “sial!” umpat Faris dalam
hati.
Dia melihat Ayana, dia tidur.. dia
mungkin kelelahan? Oh tidak, dia pasti bosan karena 2 jam berada didalam mobil
bersamanya dan mendengarkan lagu–lagu sedih berlirik Korea? Ya. Mungkin itu.
Tak bisa menerobos hujan. Tempat
parkirnya terlalu jauh dengan gedung biru ––salah satu gedung jurusannya––
Dia pasrah, kesempatannya bertemu
dosennya sudah habis, dosen pembimbingnya pulang pukul 12.00 untuk hari ini,
dia tau, karena kemarin dosennya seperti itu, beruntunglah kemarin dia masih
bisa berkonsultasi namun gagal meminta acc.
Faris melihat Ayana tertidur,
cantik.
“andai lo itu bisa bicara, mungkin
lo akan sempurna..” batin Faris, Faris terkekeh sendiri dengan perkataannya
dalam hati tadi, yang ada difikirannya adalah menginginkan Ayana menjadi
adiknya, dia sangat lucu. Tapi kenapa dia harus mencintai Korea? Sedangkan
Faris tidak. Tidak sama sekali.
Satu jam sudah hujan turun..
akhirnya reda.. Faris segera turun dari mobilnya, namun ada sesuatu yang
sepertinya ia lupakan. Ia menengok lagi kedalam mobil,
“astaga, gue lupa.” Batin Faris.
“Ay.. bangun Ay...” ucap Faris
membangunkan Ayana. Ayana mulai membuka matanya, menatap sekeliling, dia masih
berada di dalam mobil, namun ada sesuatu yang beda.. banyak gedung disini...
Ayana menatap Faris bingung.
“ini di kampusku kok..” kata Faris
seakan mengerti kenapa Ayana seperti orang kebingungan seperti ini.
Faris dan Ayana berjalan melewati
parkiran mobil dan motor, melewati gedung–gedung yang berada di kampusnya,
ingin segera sampai gedung biru, tapi apa yang akan dilakukan disana? Tak ada.
Ayana menjajari jalannya Faris...
Faris menghentikan langkahnya, menerawang lurus kedepan, Ayana ikut berhenti
dan mengikuti arah pandangan Ayana... Ayana melihat beberapa laki–laki dan
perempuan berkumpul didepan sebuah gedung, mereka asik membicarakan sesuatu,
lalu apa yang membuat Faris berhenti dan memandang mereka seperti ini? Pikiran
Ayana terus menebak–nebak sikap Faris ini. Beberapa saat kemudian, Faris tersadar
dan menoleh memandang Ayana, Faris segera meraih tangan kiri Ayana dan
menggandengnya, Ayana yang kaget hanya mengikuti saja, entah mengapa Ayana
senang, hatinya berdesir hebat.. jantungnya berdetak kelewat kencang... Ayana
senang.
“woy Ris!” teriak Raka saat Faris
dan Ayana berjalan mendekat.
Raka kelewat melongo saat melihat
Ayana dan Faris bergandengan, dulu Faris berkata bahwa Ayana adalah temannya,
tapi sekarang? Mereka bergandengan layaknya sepasang kekasih? Begitu mesra? Ya
begitulah yang Raka lihat.
“wih, siapa nih? Pacar lo Ris?”
tanya Rizal melihat Faris datang bersama Ayana.
Faris menoleh ke Ayana, Ayana tak
memandangnya, ia malah memandang teman–temannya dan tersenyum ramah.
“iya pacar gue.” Ucap Faris jelas.
“kenapa?” tanya Faris setelah melihat teman–temannya berwajah kaget. Dia segera
menoleh ke Ayana dan ingin mengethaui ekspresi wajah Ayana, apakah kaget, tak
terima, malu, marah? Ternyata biasa saja.
Semua temannya melongo dan kaget
dengan pernyataan Faris tadi, terutama Raka.
“mana mungkin?” ucap Raka kaget.
“maksud gue, mana mungkin secepet itu? Kan lo sama Ayana baru kenal?” ralat
Raka.
Faris hanya tersenyum memandangnya
dan mulai membuka mulut untuk menjawabnya “kalo jodoh, apa harus nunggu?”
“GAK LUCU! Paling ini pacar sewaan
lo kan? Diem aja daritadi? Gaberani ngomong soal lo? Gaberani ngakuin lo jadi
pacarnya? Dia bisu?! Yakali lo pacaran sama orang cacat!” ucap Rizal tak
menyangka.
Ayana kaget dengan kata Rizal tadi.
Ayana tak keberatan jika Faris mengakuinya sebagai pacarnya, toh hanya didepan
teman–temannya, bukan didepan keluarganya. Tapi perkataan Rizal tadi sungguh
menyambar hatinya, bak petir yang menyambar–nyambar secara liar saat hujan
deras mengguyur dunia dan petir itu menyambar hatinya. Sakit. Dia tak masalah
dengan kata pacar sewaan, yang dia tak terima adalah bisu. Dia tidak bisu. Dia
hanya tidak bisa bicara! Dia lebih tidak terima di cap sebagai orang cacat! Dia
tak terima! Tak terima!
“Ay!!!!” Faris berteriak saat Ayana
berlari meninggalkannya, dia menatap benci sejenak kepada Rizal dan segera
pergi meninggalkan teman–temannya untuk mengejar Ayana.
*Continue*
0 komentar:
Posting Komentar