Tittle : Silent Love
Author : RFP4
Genre : Romance, Family
Rating&Length : PG-15
–Chapter
Cast : Ayana Shahab (JKT48), Faris (Fiktif)
Faris menghentikan mobilnya didepan
cafe, Ayana tak tau apa yang diinginkan Faris, Ayana berfikir Faris lapar dan
ingin makan di cafe ini, tapi ternyata? Tidak.
Ayana menatap Faris.
“ayo makan disini.”
Ayana menggeleng.
“kamu marah?”
Menggeleng
“terus kamu kenapa? Maafin tadi si
Rizal ya.. janji besok si Rizal abis sama aku kok.”
Menggeleng. Ayana segera mengambil
ponselnya dan mengetik sesuatu
‘aku gamau kamu kekerasan buat semua
ini.. biarin aja mereka ngatain kita, ngatain aku bisu.. aku gapapa kok.. asal
kamu gapake kekerasan.. aku gasuka pake kekerasan, kita buktiin aja pake
kekuatan kita, kita buktiin kita emang satu dan gak saling sewa hahaha’
Faris tersenyum “aku sayang kamu”
Ayana memeluk Faris.
Faris tertawa “ini tandanya kamu
juga sayang aku kan?”
Ayana mengangguk dan tersenyum
bahagia.
Ayana sudah tidur dikamarnya, Putra
menonton TV di ruang TV, suasana sepi.. Henry dan Esa belum pulang, Faris turun
dan menghampiri Putra.
“hellooow kakak gue yang baiknya
minta ampun..” sapa Faris saat sudah duduk di samping Putra.
“Ck. Ada kabar apa lo ngatain gue
baik begini?”
“gue jadian sama Ayana.”
“HAH?!”
Putra terlonjak kaget. “serius lo? Kapan?”
“sejak.. tadi soreeee~~~” Faris
tersenyum lebar
“wih.. syukurlah lo udah dapetin
dia, tapi lo yakin kan dia juga ada rasa sama lo?”
“iyalah!”
“oke oke, btw peje bisa kali?”
Faris mengambil dompet di saku
celananya dan mengeluarkan satu lembar uang lima puluh ribu an
“nih beliin gue nasi goreng, sisanya
ambil aja.”
“lo ngebabuin gue?”
“anggep ini hari jomblo buat lo.”
“shit.”
....
Sinar matahari masuk melalui celah
kamar Ayana, Ayana mulai risih karna sinar matahari itu mengganggu tidurnya.
Matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit dan akhirnya matanya terbuka dengan
lebar.
Matanya segera memandang sekeliling
kamarnya, kamar yang berantakan.
Faris berjalan di koridor kampus
dengan tumpukan buku di tangannya, dia mengacuhkan pandangan orang-orang yang
memandangnya dengan arti ‘menjauhi’nya
Faris memilih meja disudut kantin,
dia menyandarkan tubuhnya di kursi yang diletakkan berdempetan dengan tembok.
Faris memejamkan matanya dan menarik nafas dalam–dalam.
‘mungkin sampe gue lulus bakal kayak
gini.’
Faris membuka matanya, dan segera
menyadarkan pikirannya. Diambilnya ponsel dari saku celananya, ada 2 telefon
dari Ayana, dan 1 pesan darinya. ‘ini semangat gue.’
‘kenapa telfon? Maaf tadi gatau,
tadi hp aku silent..’ Faris membalas pesan Ayana.
‘kamu kemana?! Aku pengen ikut
kamu!’
Faris bingung harus menjawab apa,
disatu sisi ia enggan membohongi Ayana. Disisi lain, dia tak ingin Ayana tau
dia ke kampus sendiri karena dia tak ingin Ayana dihina oleh teman–temannya.
Faris tak ingin Ayana dihina.
‘aku lagi keluar sama Henry kok,
tenang aja J’
‘nanti kalo udah selesai, buruan
pulang ya. Aku bosen.’
‘iyaa bawel :p’
Tak ada balasan. Mungkin Ayana marah
saat Faris membalasnya dengan kata ‘bawel’ itu sungguh lucu.
Faris segera berdiri dan bergegas
menuju ruang dosen pembimbingnya untuk menanyakan skripsinya. Dia harus lulus
tahun ini.
Ayana memandang layar ponselnya, dia
menunggu Faris menelfonnya. Tapi ternyata tidak.
Ponsel Ayana berdering. Ibunya.
‘kamu kemana? Mau mama jemput! SMS-in
alamatnya ya!’ Ayana matikan.
Ponsel Ayana terus berdering dan
membuat Ayana sebal. Akhirnya dia matikan ponselnya.
Faris tiba dirumah dan segera menuju
kamarnya, dia rindu tak melihat Ayana.
Faris melihat pintu kamar Ayana
terbuka, dia segera menuju kamar Ayana, dia sudah rindu padanya.
Faris terdiam saat melihat sebuah
koper dan tas yang dulu Ayana bawa berada di atas tempat tidur.
“Ay..” Faris mencoba memanggil
Ayana. Ayana muncul dari balik pintu kamar mandi.
“koper? Tas?” tanya Faris.
Ayana mengambil buku kecil dan
pulpen.
‘aku mau pulang, mau anterin aku?’
Faris diam dan beberapa detik
kemudian tersenyum dan mengangguk.
Suasana didalam mobil sepi, hanya
terdengar ssuara radio yang diputar oleh Ayana.
Faris hanya hanyut dalam keheningan,
namun pikirannya tidak. Pikirannya selalu berfikir jika dia tak akan bertemu
Ayana lagi. Namun itu segera ditepis oleh Faris. dia punya nomor Ayana. Dia
bisa berkomunikasi lewat ponsel.
Faris, dia pasti akan sangat rindu
pada Ayana. Gadis yang mengubah hidupnya.
Ayana memegang tangan Faris. Faris
terkejut.
Faris menghentikan laju mobilnya.
“kenapa?” tanya Faris bingung.
Ayana tersenyum dan menunjuk sebuah
rumah yang baru saja dilalui oleh Faris.
“eh? Maaf–maaf aku lupa hehe” ucap
Faris saat tersadar dia baru saja melewatkan rumah Ayana.
Faris segera memundurkan mobilnya
dan turun untuk membukakan pintu Ayana.
...
Faris mencoba fokus pada skripsinya
namun pikirannya melayang dan tetap kembali pada kejadian tadi sore.
Faris dan Ayana berdiri didepan pintu rumah. Faris memencet
bel, seorang wanita berusia hampir setengah abad muncul membukakan pintu.
“sia–” ucap wanita itu sambil memandang Ayana dan Faris.
“Ayana?”
“permisi tante, a–” Faris belum selesai bicara. Wanita itu
segera menghambur ke Ayana dan memeluknya.
Dua sudut di bibir Faris terangkat. Dia tersenyum saat Ayana
dan ibunya berpelukan.
Ayana mengeluarkan ponselnya, dia mengetik sesuatu, Faris
kira itu untuknya, tapi ternyata ponsel itu diberikan kepada ibunya.
“oh kamu pacarnya Ayana ya? Namanya Faris?” ucap sang ibu
setelah memandang layar ponsel Ayana.
“e–eh iya tante iya hehe” Faris kaget dan menggaruk–garuk
kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“waah pacar kamu ganteng ya, keren Ay..” ucap sang ibu
mengagumi Faris.
Ayana menyenggol lengan ibunya. Malu.
Faris hanya tercengir saat mendengar itu.
“yaudah Ay... ayo masuk mama mau introgasi kamu.”
Mata Ayana membulat. Inilah yang dia benci.
Faris hanya melongo mendengar calon mertuanya berkata
seperti itu pada kekasihnya
Tanpa disadari, Ayana sudah berada dibalik pintu dan
melambaikan tangannya kepada Faris pertanda selamat tinggal.
Faris bisa saja melempar laptopnya
jika dia ingin. Namun bukan itu yang diinginkan sekarang. Yang diinginkan
sekarang adalah bertemu dengan Ayana. Baru 4 jam dia tak melihat wajah Ayana.
Rindu mulai menyelinap melalui seluruh indra penglihatannya. Saat ia menatap
layar ponselnya yang berwalpaper Ayana saat sedang di kedai kopi.
“aku kangen kamu Ay...” gumam Faris.
Faris mulai tak tahan dengan semua
ini, namun dia harus bisa bertahan demi hubungannya dengan Ayana.
Hubungannya memang sudah mendapat
lampu hijau dari kedua orang tua mereka, namun bukan itu masalahnya. Masalahnya,
dia harus menahan rindu yang ada didalam hatinya. Rindu yang bisa meledak
sewaktu–waktu jika daya tampungnya sudah melampaui batas maksimum.
Ayana mungkin memang anak yang
beruntung jika anak–anak lain melihatnya, dia punya kekurangan namun kekurangan
itu tertutupi oleh kekayaan keluargannya dan kekasihnya saat ini.
Namun bukan itu yang dia mau. Dia ingin
suaranya kembali.
Ayana menyalakan komputernya.
Dia membuka internet dan mencari
informasi tentang pengobatan yang dapat mengembalikan suaranya.
Sebuah artikel menarik perhatiannya.
Cangkok pita suara.
...
Faris mengirim pesan kepada Ayana.
Pagi ini biasanya dia pergi ke kamar Ayana dan membangunkannya, atau
menunggunya di ruang makan untuk sarapan.
Namun, pagi ini nampaknya akan sama
seperti saat dia belum bertemu Ayana.
‘selamat pagi gadis cantik, ~ kamu
sekolah gak?’
Beberapa menit kemudian, sebuah
pesan masuk ke ponsel Faris.
‘selamat pagi jugaaa. Iyaa aku
sekolah, kamu semangat kuliah yaa fighting!!!’
Faris tersenyum. ‘aku anter kamu ya?
Kamu berangkat jam berapa?’
‘gak usaah nanti kamu telat kuliah
lagi L’
‘aku ke kampus nanti siang kok,
cuman minta acc. Aku anter yaaa pliss L’
‘ya dehh..’
‘jam berapa?’
‘aku berangkat jam 6’
‘okee tunggu akuu’
‘iya.. J’
Faris dan Ayana sedang menuju ke
sekolah Ayana. Faris sengaja menggunakan motor agar dia dapat menyelip diantara
mobil–mobil jika macet, lebih tepatnya agar dia terhindar dari macet.
Ayana menepuk bahu Faris dan
menunjuk ke arah bangunan berpagar besi bercat abu–abu.
Faris menghentikan motornya didepan
gerbang bangunan itu. Sekolah Ayana.
Ayana turun dan menyerahkan helm
yang dikenakannya pada Faris. Ayana tersenyum dan melambaikan tangannya pada
Faris.
Faris tersenyum.
Ayana duduk dibangkunya, memandang
ponselnya yang berwalpaper Faris saat sedang mengetik skripsi di kedai kopi.
‘kamu lucu.. aku bangga punya kamu.’
Kata Ayana dalam hati dan tersenyum.
Faris mendapat acc untuk skripsinya.
Faris yakin dia akan lulus tahun ini. Jika dia lulus, dia akan melamar
pekerjaan menjadi seorang photografer disalah satu perusahaan di Jakarta ini.
Dia sudah mempunyai target.
Faris mengambil ponselnya dan
melihat ada pesan dari Ayana.
‘jangan lupa sarapan! Kamu pasti
belum sarapan kaan??!!’
Faris tersenyum dan bersumpah akan
sarapan sebelum pergi mengantar Ayana ke sekolah agar ia tak seperti anak kecil
yang diperintah untuk segera sarapan oleh orang tuanya.
‘iya iya.. kamu pulang jam berapa?
Aku jemput ya..’
‘aku pulang jam 3, masih lama...’
‘gapapa, aku juga masih dikampus
kok.’
‘jangan lupa sarapan sama makan
siang ya.. aku sayang kamuuuuu!!!’
‘aku gak sayang kamuu!! :p’
‘yaudah.’
‘eh ngambek :p gak pelajaran? Kok
SMS-an?’
‘aku lagi istirahat tau!!’
‘oh lagi istirahat.. kirain mau jadi
anak nakal yang mainan hape dikelas waktu pelajaran.. :p’
‘ihh L’
‘kamu makan yang banyak biar gendut
ya :p’
‘gamau kalo kamu gamakan! :p’
‘aku makan kok :p’
‘mana buktinya?’
‘mau bukti apa? Cinta? Nihh cintaa
:p’
‘gacuman cinta, gambar juga dong..
foto kalo kamu lagi makan :p’
‘ribet ya.. emang harus?’
‘harus!’
‘kalo aku gak mau?’
‘aku juga gak mau.’
‘iyadeh.’
Faris berjalan malas menuju kantin
dia hanya mengeluarkan laptopnya dan diam–diam mengambil gambarnya yang berada
didepan laptop.
‘udah kan? :p udah ya.. hape aku
lowbatt nanti aku jemput jam 3 ya.. ilysm.’ *ilysm maksudnya I Love You So
Much*
Setelah itu ponsel Faris mati.
Faris menatap jam di tangannya
dengan sedikit kesal, sudah hampir 40 menit dia berada di depan gerbang sekolah
Ayana, namun Ayana belum keluar. Sekolah ini mungkin memang belum pulang,
bahkan jika dilihat disini hanya ada Faris dan beberapa orang tua murid atau saudara
murid lainnya, namun jika dihitung mungkin hanya 6 atau 7 saja. Ayana pasti
membohonginnya.
*20 menit
Seseorang menepuk bahu Faris, gadis
cantik berseragam SMU muncul dan tersenyum padanya. Raut muka Faris sangat tak
enak dilihat.
“kamu tau aku nunggu 1 jam?! Kamu
pasti boong kan sama aku kalo kamu pulang jam 3?!”
Ayana hanya tersenyum mengejek dan
menjulurkan lidahnya.
Faris mendengus kesal.
“nih.” Faris memberikan helm yang
tadi pagi dipakai Ayana untuk berangkat.
Ayana menerimanya dengan muka yang
mengejek. Dia berhasil membuat Faris marah kepadanya.
Ayana mengetik sesuatu diponselnya
sebelum Faris menjalankan motornya.
‘ayo ke kedai kopi.. aku aus’
Faris hanya diam dan segera
menyalakan motornya, Ayana pun segera naik ke motor Faris sebelum dia ditinggal
Faris karena dia tau Faris sedang sensitif dan masih ada rasa marah di dalam
hatinya.
Ayana hanya tersenyum sendiri jika
teringat kalimat ‘aku berhasil membuatnya marah padaku’ yang ia buat sendiri.
Faris hanya duduk dengan tampang
kesal, dia sudah menghabiskan kopi yang ia pesan.
Ponsel Faris bergetar.
‘Fr :
Ayana
Maaf yaaa aku gak maksud bikin kamu
marah.. aku cuman pengen nge cek kamu beneran mau jemput aku apa enggak, eh
ternyata beneran jemput tooh :p’
Faris menarik nafasnya dan membuka mulutnya
“disaat kayak gini masih sempet–sempetnya pake titik dua P?”
Ayana menatap wajah Faris dengan
muka cemberut dan mengirim pesan lagi kepada Faris.
Ponsel Faris kembali bergetar.
‘Fr :
Ayana
Yaudah kalo kamu marah, aku pulang.
Sendiri. Bye.’
Faris segera memandang bangku
didepannya.
Kosong.
Mata Faris menelusuri semua sudut di
kedai kopi ini.
Itu dia. Berjalan menuju pintu
keluar.
Faris segera mengangkat ponselnya
dan mengetik sesuatu.
Langkah Ayana terhenti didekat pintu
keluar saat ponselnya berdering. Faris menelfon. Dengan rasa penasaran yang
teramat sangat, Ayana mengangkat telefon itu.
‘kopinya belum dibayar. Bayar
sendiri–sendiri kalo kamu juga marah.’
Faris menahan tawa ditempat
duduknya, sementara Ayana masih bingung dengan perkataan Faris.
‘ada ya pembeli kopi yang mesen kopi
tapi gadibayar? Gasadar ya kalo diliatin seisi ruangan gara–gara berhentti
didepan pintu. Enggak malu didepan pintu cuma diem sambil nempelin handphone
ditelinga dan sementara kopinya belum dibayar main pergi aja? Aku sih malu..’
Dan seketika Ayana membalikkan
badannya dan menyapu bersih tatapan semua pengunjung kedai kopi yang menatapnya
dengan tatapan aneh. Namun pandangannya segera menuju ke Faris. Faris yang kini
menahan tawa. Ayana bersumpah akan pergi meninggalkan uang di meja jika dia
sedang berkelahi dengan Faris di kedai kopi ini lagi.
...
‘But I set
fire to the rain
Watched
it pour as I touched your face
Well it burned
while I cried ‘cause I heard it screaming out your name, your name’
Suara Faris kembali terdengar dibalik jendela
kamarnya, Putra dan Henry datang bersamaan kekamar anak bungsu ini.
“galau
Ris?” tanya Henry saat memasuki kamar Faris yang cukup rapi.
Faris
hanya diam tak menjawab pertanyaan Henry dengan berpura–pura sibuk memetik
senar gitar.
“Ris.”
Panggil Putra saat mengetahui tingkah adiknya ini.
Faris
segera menoleh namun tetap diam. Dia hanya memandang Putra dan Henry dengan
pandangan yang mengatakan ‘pergi! Gue lagi gamau diganggu!’
...
Ayana menghentikan kakinya didepan sebuah
ruangan bertuliskan nama seorang dokter yang pernah dibacanya di internet.
Dia
segera masuk dan menemukan ruangan ber–cat putih dengan bau khas rumah sakit.
“silahkan
duduk, ada keluhan apa?” ucap sang dokter saat Ayana sudah duduk di kursi
didepan meja dokter itu.
Ayana
segera memberikan buku kecil untuk sang dokter membacanya.
‘pita
suara saya rusak. Saya pengen bisa bicara lagi..’
Dokter
itu tersenyum dan memandang Ayana yang menatapnya cemas.
“saya
hanya bisa menyarankan satu hal. Cangkok pita suara. Namun itu sangat sulit dan
butuh ketelitian ekstra. Salah sedikit, fatal akibatnya.”
Ayana
menulis dibukunya.
‘demi
apapun saya ingin suara saya kembali dok.. tolong lakukan itu.. berapapun
biayanya akan saya bayar dok...’
Dokter
itu menghela nafas. “saya tidak memasalahkan biaya, saya hanya memasalahkan
keselamatan adek, dan kemampuan dokter kami belum terlalu handal dan ahli untuk
cangkok pita suara ini..”
Wajah
Ayana memohon.
“tapi
jika adek mau menerima resiko, saya akan berkoordinasi dengan dokter dari
Singapura yang lebih ahli.”
Wajah
Ayana berseri saat mendengar itu semua.
“oh
ya.. masalah biaya, karena ini sangat rumit dan saya yakin akan menguras banyak
dana, saya akan meminta bantuan dari pusat.”
Ayana
tersenyum puas.
Sebentar
lagi dia bisa berbicara.
....
Faris
duduk di dalam mobilnya, menatap mahasiswa yang berjalan melewati mobilnya.
Sudah 1 minggu dia tak mendengar kabar Ayana. Setiap pagi dia ke rumah Ayana,
pembantu di rumah itu selalu berkata bahwa Ayana sudah berangkat. Saat sore dia
selalu menunggu Ayana didepan sekolahnya namun nihil. Ayana tak ada. Padahal
dia sudah menunggu lama.
SMS–nya
pun tak Ayana balas. Entah mengapa Ayana seperti menghindarinya.
Faris
kelewat rindu.
Putra
berada di sebuah ruangan, menghidupkan kamera yang sudah berada di pojok
ruangan semenjak satu minggu yang lalu.
Banyak
dokter di dalam ruangan ini.
“this
camera is ready”
....
Faris
menyandarkan kepalanya di sofa ruang tamu, pikirannya melayang entah kemana
hingga seseorang menyadarkan lamunannya dengan pukulan di bahu. Dia berharap
Ayana.
“ngapain
lo disini? Udah malem, gatidur?” tanya Putra melihat Faris yang duduk di sofa
tengah malam sseperti ini.
“he?”
Faris kaget. “oh, ini masih jam 12. Ngapain tidur sekarang kalo gue besok pagi
gak ngapa–ngapain”
“maksud
lo?” Putra bingung. “lo enggak nganterin Ayana ke sekolah emang?”
Faris
menggeleng.
Putra
teringat sesuatu, dia segera memberikan sebuah VCD yang ada didalam tas–nya.
Faris
mengerutkan dahinya. Tak mengerti.
“ambil
aja. Kalo perlu lo puter ini sekarang. Gue mau tidur. Capek gue ngurusin ini..”
Putra segera pergi.
Faris
menerima VCD itu dengan rasa penasaran. Penasaran kenapa Putra memberikan
sebuah VCD kepadanya, bahkan Putra tak memberitahu apa isi VCD ini. Pikiran
lelaki dewasa adalah VCD ini...
Pikiran
itu segera ia tepis.
Faris
berjalan menuju kamarnya, dia ingin menonton VCD itu besok. Tubuhnya lelah. Dia
ingin istirahat.
Faris
merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit–langit kamar yang seakan
berkoordinasi dengan mata dan fikirannya untuk membentuk bayangan Ayana.
Ayana
lagi.
Faris
segera menatap VCD yang dia letakkan disamping laptopnya. Pikirannya masih
penasaran dengan isi VCD itu. Persetan dengan hari yang sudah berganti. Dia
mengambil VCD itu dan memutarnya di laptopnya.
Terlihat sebuah
jalan raya yang ramai di siang hari.
‘Ini
bundaran HI?’ tanya Faris dalam hati
Terlihat seorang
wanita bebaju pink dengan celana jeans biru panjang dan bersepatu cats sedang
berdiri dan merentangkan kedua tangannya.
Wanita tu
membalikkan badannya.
‘Ayana.’
Faris mengerutkan dahi
Wanita itu
Ayana. Sebuah teks tertulis di video itu.
‘haay aku Ayana
Shahab, aku gadis yang tak bisa bicara. Tapi aku mencintaimu Faris Sadewa.’
Ayana
melambaikan tangannya kepada kamera dan tersenyum , tangannya berubah pose
membentuk sebuah hati.
Latar
berganti.
Sebuah ruangan
di rumah sakit.
Ayana terbaring
ditempat itu. Kepalanya menoleh ke arah kamera dan tersenyum.
Faris
mulai khawatir dengan adegan ini. Apakah ini sebuah project dari Ayana untuk
menipunya kembali?
Sebuah teks
muncul.
‘tepat saat hari
pertama aku dan kamu kehilangan kontak, aku sedang menjalani operasi cangkok
pita suara. Doakan aku agar aku selamat dan operasi ini lancar.’
Jantung
Faris berdegup kelewat kencang.
Adegan berganti
disebuah ruangan, banyak dokter yang menutupi adegan ini, sebuah teks muncul.
‘aku sedang di
operasi jangan khawatirkan aku, doakan saja agar operasi ini sukses dan aku
bisa kembali bicara..’
Faris
mencoba tetap fokus melihat semua ini.
Adegan berganti
lagi menuju sebuah ruangan. Ruang inap Ayana di rumah sakit.
Terlihat seorang
gadis sedang terdiam tak sadarkan diri.
“kamu
kenapa sayang...” gumam Faris saat melihat Ayana dalam video itu.
Adegan kembali
berganti. Kini ruangan yang tadi sepi dan hanya terdapat Ayana seorang diri, sudah
menjadi ramai akan dokter–dokter yang mengelilinginya.
‘this camera is
ready.’
Putra masuk
kedalam ruangan tersebut.
Mata
Faris membulat saat Putra masuk kedalam ruangan itu.
“nga–“
gumam Faris tak ia lanjutkan saat Faris melihat kembali lanjutan video itu,
Putra
mendudukkan seorang gadis yang leher–nya dibalut perban.
Faris
mencoba melihat siapa yang Putra dudukkan, Ayana.
Beberapa dokter
tampak berwajah tegang, mereka semua ingin menyaksikan dan mendengar sendiri
hasil dari kerja mereka selama 8 jam berada di ruang operasi.
“coba ucapkan
apa yang ingin kamu ucapkan.” Perintah sseorang dokter yang ada di dalam
ruangan itu.
Ayana tampak
sedang menarik nafas, perban di lehernya sudah dilepaskan.
Layar
laptop Faris menghitam.
Sebuah teks
muncul,
‘kamu tau
operasi aku berhasil atau gagal? Besok jemput aku berangkat ke sekolaah yaaaa.
~Ayana’
Video
itu selesai.
Faris
semakin penasaran. Gadis yang dicintainya menimbulkan rasa penasaran didalam
hatinya.
Ingin
Faris menelfon Ayana. Namun itu tak mungkin. Hari sudah larut.
5
jam lagi dia akan berangkat menuju rumah Ayana.
...
Faris
sudah rapi. Dia turun ke lantai satu dan mengambil kunci mobilnya.
Dia
ingin mengantar Ayana dengan mobil untuk hari ini.
“eh
Ris? Lo? Rapi amat?” tanya Henry saat Faris turun dan berjalan melewati meja
makan.
Langkah
Faris terhenti.
“kayak
gini rapi ya? Cuman gini doang rapi?” tanya Faris memperhatikan pakaiannya yang
menurutnya non–formal.
“ya..
maksud gue... tumben gitu lo pagi–pagi udah rapi..”
“oh....
gue mau nganter Ayana sih.”
“oh.
Yodah sono ntar lo telat lagi.”
“lo
yg bikin lama.”
“hah?!”
Faris
tiba didepan rumah Ayana.
Ayana
sudah menunggunya dengan seragam putih abu–abunya.
Faris
akan menjalankan rencana yang sudah disusunnya semalam.
Ayana
bosan melihat Faris yang terus berdiam sepanjang perjalanannya ke sekolah.
Ayana sudah mencoba menghidupkan radio, tapi oleh Faris dimatikan.
‘sebenernya
kamu kenapa?!!’ batin Ayana.
Faris
memandang jalanan yang mulai ramai. Sesekali dia mencuri pandangannya pada
sosok wanita disampingnya melalui kaca spion.
Rencana Faris mungkin*Continue*
Satu hari post 2 ff gapapa kan? hahaha
next part end yaaa ;)
0 komentar:
Posting Komentar